Revolusi kecerdasan buatan (AI) diprediksi akan mengubah wajah perdagangan internasional secara fundamental dalam 15 tahun ke depan. World Trade Organization (WTO) dalam laporan terbarunya, World Trade Report 2025, memproyeksikan bahwa AI dapat meningkatkan nilai perdagangan lintas batas barang dan jasa hampir mencapai 40 persen pada tahun 2040 berkat peningkatan produktivitas dan penurunan biaya perdagangan.
Proyeksi optimis ini didasarkan pada berbagai skenario yang memperhitungkan adopsi teknologi AI di berbagai sektor ekonomi. Dalam kondisi ideal dengan kebijakan yang mendukung, perdagangan global diperkirakan akan meningkat sekitar 34 hingga 37 persen. Sementara itu, Produk Domestik Bruto (PDB) global berpotensi tumbuh 12 hingga 13 persen dalam periode yang sama.
AI membawa transformasi di berbagai aspek perdagangan internasional. Teknologi ini mampu mengurangi biaya perdagangan secara signifikan melalui otomasi proses logistik, optimalisasi rantai pasokan, dan efisiensi administrasi bea cukai. Dalam sektor jasa, AI membentuk ulang cara perdagangan dilakukan, mulai dari layanan keuangan hingga konsultasi profesional lintas negara.
Lebih dari itu, AI menciptakan pasar baru untuk barang dan jasa terkait teknologi kecerdasan buatan itu sendiri. Perdagangan chip AI, perangkat keras komputasi, layanan cloud computing, dan solusi perangkat lunak berbasis AI mengalami pertumbuhan eksponensial. Ini membuka peluang ekonomi baru bagi negara-negara yang mampu mengembangkan ekosistem AI yang kuat.
Namun, laporan WTO juga memberikan peringatan penting: manfaat AI dalam perdagangan global tidak akan terdistribusi secara merata. Kesenjangan digital antara negara maju dan berkembang bisa semakin lebar jika tidak ada upaya serius untuk menjembatani gap infrastruktur dan regulasi teknologi.
Negara-negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam mengadopsi AI. Infrastruktur digital yang belum memadai, keterbatasan akses internet berkecepatan tinggi, kekurangan tenaga ahli AI, dan kerangka regulasi yang belum siap menjadi hambatan struktural yang harus diatasi. Data menunjukkan bahwa pembatasan perdagangan terhadap barang-barang terkait AI meningkat tajam dari 130 langkah pada 2012 menjadi hampir 500 langkah pada 2024.
Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa negara berpenghasilan rendah masih menghadapi tarif hingga 45 persen untuk produk-produk AI esensial, semakin membatasi akses mereka terhadap teknologi yang justru bisa mempercepat pembangunan ekonomi mereka.
Untuk Indonesia sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, laporan ini menjadi pengingat penting. Investasi dalam infrastruktur digital, pengembangan talenta AI lokal, dan penyusunan kerangka regulasi yang kondusif harus menjadi prioritas nasional. Tanpa persiapan yang matang, Indonesia berisiko tertinggal dalam perlombaan ekonomi digital global.
Peluang AI untuk meningkatkan perdagangan global sangat nyata dan terukur. Namun, mewujudkan potensi penuh ini membutuhkan kerja sama internasional yang kuat, transfer teknologi yang adil, dan komitmen untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal dalam transformasi digital ini. Masa depan perdagangan global yang inklusif dan berkelanjutan bergantung pada pilihan kebijakan yang dibuat hari ini.